Kakek Penjual Basreng (Credit Image : merdeka.com) |
Ajok adalah nama seorang kakek penjual bakso goreng (basreng)
keliling yang berasal dari Subang, Jawa Barat. Usianya sudah sekitar 70 tahun
namun ia masih bersemangat sekali dalam bekerja. Ia menjajakan jualannya dari
SD yang satu ke SD lain setiap harinya. Biasanya ia berjualan di SD Margahayu,
Bekasi Timur. Ia bekerja sepanjang hari dari pagi hingga petang dengan memikul
gerobak seberat 20 kg di pundaknya. Ajok berangkat pagi-pagi sekali dari
kontrakannya di Rawa Semut, Bekasi Timur, Jawa Barat. Setiap hari jualannya
habis dan itu yang membuat semangatnya tak pernah surut dalam bekerja.
Anak-anak kecil yang menyukai dagangannya membeli dengan harga yang bervariasi,
ada yang membeli dengan harga Rp. 500 ada juga yang Rp. 1.000. Berapapun itu,
Ajok selalu mensyukurinya dan selalu menunjukkan wajahnya yang bersemangat.
Hujan dan panas matahari tidak melunturkan kobaran semangatnya
sedikitpun meskipun ia bekerja setiap hari selama 12 jam. Padahal jika
dihitung-hitung, keuntungannya per hari hanya sekitar Rp. 100 ribu. Itu juga
masih dibagi dua dengan teman sekontrakannya Qodir. Qodirlah yang membuat bakso
goreng dan pemilik gerobak pikulnya. Sedangkan Ajok hanya menjualkan dan
menyediakan bahan-bahan seperti minyak goreng, minyak tanah dan saos. Jadi jika
uang Rp. 100 ribu itu dibagi dua, maka masing-masing hanya mendapatkan uang Rp.
50 ribu saja. Itu juga masih ia belanjakan untuk membeli bahan-bahan penunjang.
Jadi keuntungan bersih yang didapat Ajok adalah Rp. 20 ribu sehari selama 12
jam bekerja. Uang itu pun masih ia simpan untuk ia berikan kepada istrinya yang
berada di Subang. Istrinya tinggal seorang diri karena Ajok memutuskan untuk
merantau. Ia merasa tidak ada pekerjaan yang bisa ia lakukan jika tetap berada
di Subang. Alhasil ia harus merantau dan pulang setiap sebulan sekali dengan
bis untuk memberikan uang sebesar Rp. 100 ribu kepada istrinya. Uang itu
diakuinya cukup untuk biaya makan dan kebutuhan istrinya dalam satu bulan.
Ajok sendiri cukup beruntung karena biaya makannya sehari-hari di
perantauan bisa terbilang murah. Hanya dengan Rp. 4 ribu saja ia sudah mendapatkan
nasi satu piring, tahu, tempe, telor. Baginya, bisa makan dan diberikan
kesehatan itu lebih dari cukup. Ia tidak mau menggantungkan hidupnya hanya
dengan bermalas-malasan atau mengemis. Ia juga tidak mau bergantung pada
anak-anaknya. Lebih baik ia mendapatkan hasil pas-pasan dari berjualan daripada
harus mengemis. Yang terpenting baginya adalah kesehatan karena ia tidak punya
asuransi kesehatan dan tidak punya uang untuk biaya berobat apabila ia sakit. Jadi
cukup membeli obat di warung dan bisa minum kopi saja itu sudah bisa membuat
badannya segar kembali. Sungguh luar biasa perjuangan kakek dengan dua cucu
ini. Bisa kita lihat bukan bahwa masih banyak orang yang tidak seberuntung
kita. Masih pantaskah kita mengeluh dengan segala yang kita miliki sementara
kita bisa makan enak, tinggal di rumah yang layak dan berpenghasilan lebih dari
cukup? Lihatlah ke bawah agar kita bisa bersyukur dan tidak selalu mengeluh.