Credit Image : lintas.me |
Berhenti bekerja di saat orang lain
begitu sulit mencari pekerjaan pada jaman sekarang. Berhenti bekerja dimana
keluarga besar kita adalah para pekerja keras dan wanita karir. Berhenti bekerja
padahal lulusan sarjana dengan IPK tinggi. Berhenti bekerja di saat gaji sudah
melambung naik dan sesuai dengan harapan kita. Dan yang terakhir adalah
berhenti bekerja di saat hasrat dan ambisi menjadi wanita karir begitu dahsyat.
Itulah keputusan yang kubuat saat akan menjadi seorang istri dari suamiku yang
sekarang. Sebelum menikah kami menjalin hubungan kurang lebih selama dua tahun
dan dengan status LDR (Long Distance
Relationship) atau pacaran jarak jauh karena saya harus bekerja di luar
kota sementara suami saya bekerja di kota tempat ia tinggal.
Awalnya saya menikmati saat-saat
berjauhan seperti ini. Tidak sering bertemu dan benar-benar berkesan apabila
saya atau suami saya bertemu di hari libur, Sabtu dan Minggu. Quality time kami benar-benar
berkualitas. Adanya rasa rindu karena tidak bisa selalu bersama membuat saya
dan suami saya benar-benar menghargai momen kebersamaan yang hanya dua hari
itu. Hingga suatu hari suami saya bekerja keras mengumpulkan uang agar bisa
membeli rumah sendiri dan kami bisa tinggal sendiri. Alhamdulillah satu tahun
pacaran suami saya bisa membeli sebuah rumah di kawasan perumahan di kota asal
kami.
Dengan hasil kerja kerasnya yang sudah
terlihat, suami saya memberanikan diri untuk meminang saya, namun satu hal yang
saya takutkan waktu itu adalah jika saya menikah, maka saya harus pindah dan
terpaksa berhenti bekerja. Padahal saat itu saya masih memiliki tanggungan
berupa hutang di suatu bank. Akhirnya tahun pertama pinangan itu saya tolak,
hingga akhirnya tahun kedua suami saya kembali melamar saya. Saya kembali
berpikir bagaimana jadinya kalau saya keluar dari pekerjaan saya padahal
gajinya sudah terbilang lebih dari cukup untuk biaya hidup dan angsuran hutang
saya. Bagaimana nantinya pendapat saudara-saudara saya jika saya memutuskan
berhenti bekerja sementara mereka benar-benar menjunjung tinggi harkat dan
martabat wanita karir.
Saya dilema dan galau. Akhirnya beberapa
bulan sebelum menikah, saya minta ijin kepada suami saya untuk tetap bekerja. Suami
saya tidak pernah melarang apapun yang saya lakukan. Ia selalu mendukung
pekerjaan saya dan tidak pernah meminta saya untuk berhenti bekerja. Hingga tiga
bulan pernikahan kami, kami masih jarak jauh. Hingga akhirnya suami saya jatuh
sakit dan sama sekali tidak bisa dihubungi padahal saat itu saya masih di luar
kota. Saya begitu khawatir. Ingin sekali ijin cuti mengurus suami tapi rasanya
tidak enak karena pekerjaan saya belum ada yang bisa menghandle. Akhirnya saya
memberanikan diri untuk cuti dan pulang ke rumah. Di rumah mertua – kami belum
menempati rumah baru karena saya masih bekerja – saya melihat suami saya
tergeletak tak berdaya di kamar. Badannya panas dan tubuhnya menggigil. Begitu menyadari
kedatangan saya, ia memaksakan diri untuk tersenyum, bangun kemudian memeluk
tubuh saya tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Ya Allah, rasanya getir hati ini
melihatnya. Ia bekerja sepanjang hari untuk terus menafkahi saya sementara saya
tidak pernah bisa melayaninya dengan baik jika bukan di hari libur. Itu pun
terkadang saya tidak pulang karena lembur. Ia membeli rumah untuk bisa kami
tempati setelah menikah, namun hingga kini tidak pernah ditinggali karena ia
tidak mau sendirian di rumah baru kami. Setiap hari ia harus mengurus dirinya
sendiri, makan masakan orang tuanya (mertua saya) dan masih menghabiskan waktu
bermain dengan teman-temannya saat saya tidak pulang. Hati ini seolah ingin
berteriak dan memohon maaf atas keegoisan saya. Tanpa bisa melayaninya dengan
baik pun ia masih memberikan nafkahnya pada saya. Saya merasa seperti tidak ada
bedanya antara sebelum dan setelah menikah karena segala sesuatunya masih ia
lakukan sendiri. Apa fungsinya istri? Apa gunanya ada istri jika ia masih
mencuci dan menyetrika baju kerjanya sendiri? Apa gunanya istri jika ia masih
makan masakan orang tuanya atau makan di luar?
Akhirnya dengan segala hal yang
berkecamuk di hati dan pikiran saya tentang kewajiban saya sebagai istri dan
hak yang tidak pernah didapat oleh suami saya, saya memutuskan untuk keluar
dari pekerjaan yang selama ini saya inginkan. Saya ingin menjadi istri yang
selalu ada untuk suami. Saya ingin menjadi istri yang menghargai setiap tetes
jerih payah suami dan saya benar-benar ingin mengabdikan diri saya untuk suami.
Semoga cerita ini bisa menjadi inspirasi bagi istri atau calon istri yang masih
berkarir. Bahwa segala sesuatu yang dihasilkan istri dari hartanya, tidak ada
apa-apanya dengan baktinya kepada suami. Insyaallah Allah akan lebih meridhoi
dan memberkahi rizki yang diberikan suami untuk kita dengan ikhlas dan dengan
jalan yang halal.
Sponsored Links